Anime

Kamis, 17 April 2014

Agar Cintaku Abadi

"Ningsih.. Ingatkah kamu saat kamu pulang sekolah dan jalan kaki itu? Aku menawarimu untuk nebeng di motor Tossa roda tigaku, tapi kamu nggak mau. Waktu aku paksa kamu untuk menaiki baknya, kamu teriak-teriak dan aku dipukuli massa. Gara-gara kamu, gigiku rontok tiga, tapi hatiku rontok semua." Ucap Supri kepada wanita berambut panjang setumit kaki yang berbaring bersamanya di kebun penuh ilalang. Angin sore itu berhembus kencang, ilalang bergoyang layaknya penyanyi yang sedang berdendang.

"Aku masih ingat juga, waktu ulang tahunmu, aku bawain kamu kue tart tepat pukul 12 malam. Tapi ayahmu meneriakiku karena dia pikir, aku ini maling. Memang salahku sih, malem itu aku datang sambil menutupi mukaku dengan sarung layaknya ninja. Soalnya aku malu kalo kamu tau aku menyiapkan kejutan semacam itu. Akhirnya, lagi-lagi aku dipukuli massa. Mukaku lebam semua, tapi hatiku remuk redam rasanya." Supri mengusap-usap rambut Ningsih. Ningsih hanya terdiam mendengarkan kalimat Supri. Tampaknya, Ningsih tidak terkesan dengan cerita Supri.

"Saat aku mengikutimu pulang malam-malam itu, sebenarnya niatku cuma untuk memastikan nggak ada yang ngegangguin kamu. Tapi kamu malah teriak-teriak ketakutan dan berlari bagai rusa. Lagi-lagi aku dianiaya, dan dicemplungin ke kali oleh massa." Supri mencoba untuk mencubit hidung Ningsih yang hanya terlihat sebagai dua lubang yang rata itu. Cubitannya meleset, karena hidung Ningsih nyaris tak bisa dilihat dengan kasat mata. Tampaknya sejak kecil, hidung Ningsih kekurangan asupan kalsium. Lalu Supri melanjutkan ceritanya, seolah-olah tak peduli Ningsih mau mendengarkannya atau tidak.

"Sejak TK, aku selalu menganggapmu sebagai pusat dunia, tapi sayang kamu nggak pernah tau kalo aku pernah terlahir di dunia. Ini semua salah orang tuaku! Aku pengin masuk di TK kamu, tapi mereka melarangku. Soalnya, mereka sudah dipanggil yang Kuasa, jadinya mereka nggak bisa nyekolahin aku di sana. Jadinya, aku nggak sekolah dari TK." Supri mencabut satu batang ilalang, dia patahkan dengan perasaan penuh amarah. Tapi dia tidak melihat, di ilalang itu ada ulat bulu. Lima menit kemudian, jempol tangan Supri bengkak sebesar jempol kakinya sendiri.

"Sejak TK, SD, SMP, SMA, sebenarnya kita selalu dekat. Kamu di dalam sekolah, aku di luar pagar sekolah, menunggu pembeli batagorku datang di jam istirahat. Tapi sayang, kamu tak pernah membeli batagorku. Batagor yang selalu aku ciptakan sambil ngebayangin senyum kamu. Batagor yang selalu aku usahakan agar bentuk dan rasanya sempurna, biar kalo kamu merasakannya, kamu tidak akan trauma." Supri mengusap dedaunan ilalang yang rontok dan menempel di pundak Ningsih. Ningsih tidak mengucapkan terima kasih untuk hal itu, dan tetap bergeming.

"Kamu tau tidak? Setiap hari aku sisakan 10 biji batagorku, karena aku selalu berharap, batagor itu akan berakhir di tanganmu? Tapi sampai sekarang, mungkin ada seratus ribu batagor yang membusuk di rumahku, yang kelelahan menanti sambutan tanganmu. Seperti hatiku, yang mulai ambigu. Tak bisa membedakan ini benar-benar cinta atau cuma ambisiku, karena sudah terlalu lama melawan kecuekanmu." Supri mengucapkan kalimat itu dengan nada tinggi, dan menatap kesal ke arah Ningsih.

"Aku masih sabar menanti hari di mana kamu akan menganggap aku ada. Sampai akhirnya aku sadar hari itu tidak akan pernah tiba, saat aku mengetahui, kamu berpacaran dengan Harno. Ya, Harno si penjual siomay itu. Aku tau, siomay Harno itu enak, tapi batagorku ini tidak mengandung bahan pengawet. Justru batagorku ini aku ciptakan dengan bumbu cinta dan harapan. Sedangkan siomay si Harno? Dia sengaja memasukkan formalin dan jamu awet muda biar siomaynya selalu terlihat segar meski nggak laku sebulan lamanya. Tapi kenapa kamu malah memilih dia?!" Nada Supri kian meninggi. Supri mendekati Ningsih, dia genggam kerah baju Ningsih, lalu mengguncang-guncangkan tubuh Ningsih. Ningsih pasrah, dan tidak melawan.

"Kian hari, aku lihat kamu dan Harno semakin dekat. Bahkan, kamu mau diboncengin Harno setiap pulang sekolah. Iya, melihat kamu duduk di atas gerobak siomaynya, hatiku serasa dibakar oleh kompor batagorku sendiri. Panas, berapi-api. Aku benci!" Supri menampar pipi Ningsih, darah mengalir keluar dari mulut Ningsih. Namun Ningsih tidak mengeluh kesakitan.

"Tapi sekarang, kamu bukan lagi milik Harno. Kamu cuma milikku! Tidak ada lagi yang bisa, ataupun ingin memilikimu! Hahahahaha! Aku lakukan ini, karena aku mencintaimu, Ningsih." Supri menarik tubuh Ningsih yang tadinya terbaring. Dia satukan bibirnya dan bibir Ningsih. Lalu, Supri mengambil sebilah parang berlumuran darah yang tergeletak di sampingnya. Dia usap parang itu di depan muka Ningsih dengan dua jarinya.

"Ternyata kesabaran dan cinta bukanlah cara yang tepat untuk membuat matamu terbuka. Ternyata kasih sayang dan harapan, bukanlah hal yang harus kulakukan agar kamu bisa aku dapatkan. Ternyata parang ini lah jalan paling tepat agar kamu bisa aku dapat." Tubuh Ningsih yang mulai dingin dan kaku, Supri letakkan kembali ke tanah. Supri usap wajah Ningsih untuk membersihkan darah.

"Aku akan menemanimu di sini. Aku akan bertahan bersamamu di sini. Jauh lebih sabar daripada saat aku dulu selalu menanti. Tenang Ningsih, aku ingin memilikimu dengan cara apapun itu, karena aku suka kamu, sejak dulu. Akulah satu-satunya pria yang menemanimu sampai akhir hayatmu. Dan sekarang, aku akan membuktikan sumpahku." Supri kemudian meletakan parang tadi di atas dada Ningsih yang terbaring. Dia tancapkan ujung parang itu ke dadanya sendiri, lalu dia tekan tubuhnya sendiri ke arah Ningsih.

Sesaat kemudian, terdengar suara rintihan "Aaaahkkk.. Ekkkk.." dan suara "Prett!!". Parang itu menembus tubuh Supri, dan dia pun tergeletak dengan lemas di atas jasad Ningsih. Supri menutup mata sambil tersenyum penuh makna.

The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar